Roro dan Raden (Rapunzel)
Di sebuah menara tinggi di tengah hutan, hiduplah seorang putri cantik bernama Roro. Ia memiliki rambut yang panjang dan berwarna kuning seperti padi. Rambutnya adalah sumber kekuatan dan kecantikannya. Namun, ia tidak pernah bisa menikmati kebebasan dan kebahagiaan. Ia ditawan oleh seorang penyihir jahat yang menginginkan rambutnya. Penyihir itu selalu berpura-pura menjadi ibunya dan melarangnya keluar dari menara. Roro hanya bisa melihat dunia luar dari jendela menara. Ia selalu bermimpi untuk melihat bunga-bunga, sungai, gunung, dan langit biru.
Suatu hari, ia mendengar suara seorang pemuda yang sedang bernyanyi di bawah menara. Suaranya merdu dan menyentuh hati Roro. Ia merasa penasaran dan memanggilnya.
“Siapa kamu? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Roro.
“Aku adalah Raden, putra raja Bali. Aku sedang berpetualang mencari jodoh. Siapa kamu? Mengapa kamu tinggal di menara?” jawab Raden.
“Aku adalah Roro, putri…putri…aku tidak tahu. Aku tinggal di sini karena ibuku melarangku keluar. Ia bilang dunia luar itu berbahaya,” kata Roro.
“Bagaimana mungkin? Dunia luar itu indah dan menakjubkan. Aku bisa menunjukkan padamu jika kamu mau. Izinkan aku naik ke menara dan berbicara denganmu,” ujar Raden.
“Baiklah, tapi jangan berisik. Ibuku tidak boleh tahu. Tunggu sebentar, aku akan menurunkan rambutku. Kamu bisa naik dengan memegangnya,” kata Roro.
Roro pun menurunkan rambutnya yang panjang dan Raden pun naik. Mereka pun saling berkenalan dan bercerita tentang diri mereka. Mereka merasa ada benang merah yang menghubungkan hati mereka. Mereka jatuh cinta pada pandangan pertama.
“Roro, aku mencintaimu. Aku ingin membawamu pergi dari sini dan menikah denganmu. Apakah kamu mau?” tanya Raden.
“Raden, aku juga mencintaimu. Aku ingin pergi bersamamu dan melihat dunia luar. Aku mau,” jawab Roro.
“Maka, besok malam kita akan kabur bersama. Aku akan datang lagi dan membawamu. Siapkan barang-barangmu dan jangan beritahu ibumu,” kata Raden.
“Baiklah, aku akan menunggumu. Aku harap ibuku tidak akan marah,” kata Roro.
Mereka pun berpisah dengan janji dan harapan. Namun, mereka tidak tahu bahwa penyihir itu telah mendengar semua percakapan mereka. Penyihir itu marah dan cemburu. Ia tidak mau kehilangan Roro dan rambutnya. Ia pun merencanakan sesuatu yang jahat.
Keesokan malamnya, Raden datang lagi ke menara. Ia memanggil Roro dengan suara pelan.
“Roro, Roro, turunkan rambutmu. Aku datang untuk menjemputmu,” kata Raden.
Namun, yang menurunkan rambutnya bukanlah Roro, melainkan penyihir yang menyamar. Ia menunggu Raden naik ke menara dan kemudian menyerangnya. Ia mengikat Raden dengan rambut Roro dan menusuk matanya dengan duri mawar. Raden pun berteriak kesakitan dan kehilangan penglihatannya.
“Siapa kamu? Mana Roro?” teriak Raden.
“Aku adalah ibunya Roro. Aku tidak akan membiarkanmu membawanya pergi. Kamu tidak pantas untuknya. Kamu hanya ingin rambutnya. Aku akan menghukummu dengan membuatmu buta selamanya,” kata penyihir.
“Kamu bukan ibunya Roro. Kamu adalah penyihir jahat yang menawan Roro. Lepaskan aku dan biarkan aku bertemu dengan Roro. Aku mencintainya, bukan rambutnya,” kata Raden.
“Kamu berbohong. Kamu tidak mencintai Roro. Kamu hanya ingin menggunakannya. Aku akan membunuhmu sekarang,” kata penyihir.
Penyihir pun hendak menusuk jantung Raden dengan pisau. Namun, sebelum ia berhasil, Roro datang dan mendorongnya. Roro berhasil melepaskan Raden dari ikatan rambutnya. Ia pun memeluk Raden dan menangis.
“Raden, Raden, maafkan aku. Aku tidak tahu bahwa ibuku adalah penyihir. Aku tidak tahu bahwa ia ingin membunuhmu. Apa yang terjadi dengan matamu? Bisakah kamu melihatku?” tanya Roro.
“Roro, Roro, aku senang bisa bertemu denganmu lagi. Aku tidak apa-apa. Aku tidak peduli dengan mataku. Aku hanya peduli denganmu. Aku mencintaimu, Roro,” jawab Raden.
“Aku juga mencintaimu, Raden. Ayo, kita kabur dari sini. Aku tidak mau tinggal di sini lagi. Aku mau pergi bersamamu,” kata Roro.
“Baiklah, ayo kita pergi. Aku akan membawamu ke kerajaanku. Aku akan menjadikanmu ratuku,” kata Raden.
Mereka pun berlari menuju kuda Raden yang menunggu di bawah menara. Namun, penyihir tidak tinggal diam. Ia bangkit dan mengejar mereka. Ia memegang gunting dan memotong rambut Roro yang masih tergantung dari menara. Rambut Roro pun putus dan jatuh ke tanah. Roro dan Raden pun terkejut.
“Rambutku! Rambutku!” teriak Roro.
“Roro, jangan khawatir. Rambutmu tidak penting. Kamu tetap cantik dan kuat tanpa rambutmu. Ayo, cepat naik ke kuda. Kita harus pergi sekarang,” kata Raden.
Mereka pun naik ke kuda dan berlari secepat mungkin. Namun, penyihir tidak menyerah. Ia mengeluarkan tongkat sihirnya dan mengucapkan mantra. Ia membuat tanah bergetar dan hutan runtuh. Ia mencoba menghalangi jalan mereka. Namun, mereka berhasil lolos dari kejaran penyihir. Mereka pun melihat cahaya di ujung hutan. Mereka pun bersorak.
“Kita berhasil! Kita berhasil! Kita bebas!” teriak Roro.
“Ya, kita berhasil! Kita berhasil! Kita bebas!” teriak Raden.
Mereka pun keluar dari hutan dan melihat padang rumput yang luas. Mereka pun melihat bunga-bunga, sungai, gunung, dan langit biru. Mereka pun merasa bahagia dan bersyukur.
“Raden, lihatlah. Ini adalah dunia luar yang kamu ceritakan. Ini adalah dunia yang aku impikan. Ini adalah dunia kita,” kata Roro.
“Roro, aku tidak bisa melihat. Tapi aku bisa merasakan. Aku bisa merasakan keindahan dunia ini. Aku bisa merasakan kebahagiaan kita. Aku bisa merasakan cintamu,” kata Raden.
Mereka pun berpelukan dan berciuman. Mereka pun tidak tahu bahwa ada keajaiban yang terjadi. Air mata Raden yang jatuh ke mata Roro membuatnya bisa melihat lagi. Roro pun terkejut dan senang.
“Raden, Raden, aku bisa melihat lagi. Aku bisa melihat wajahmu. Aku bisa melihat matamu. Aku bisa melihat dunia ini. Ini adalah keajaiban. Tuhan telah memberi kita keajaiban,” kata Roro.
“Roro, Roro, apa yang kamu katakan? Apakah kamu bisa melihat lagi? Apakah ini benar? Apakah ini mungkin?” tanya Raden.
“Ya, Raden. Aku bisa melihat lagi. Ini benar. Ini mungkin. Ini adalah hadiah dari Tuhan. Tuhan telah mendengar doa kita. Tuhan telah menyelamatkan kita. Tuhan telah memberkati kita,” jawab Roro.
Mereka pun bersyukur kepada Tuhan atas keajaiban yang telah terjadi. Mereka pun melanjutkan perjalanan mereka menuju kerajaan Bali. Di sana, mereka disambut dengan hangat oleh raja dan rakyat. Mereka pun menikah dengan meriah dan hidup bahagia selamanya.